Tewasnya Abdul Jalil alias Jalil pasca ditangkap tim gabungan Satreskrim Polresta Kendari masih misterius. Kematian pegawai honorer BNN Kendari itu diduga kuat akibat aniaya yang dilakukan oknum polisi. Apalagi, berdasarkan informasi keluarga, ketika lelaki berusia 25 tahun itu hendak diamankan, ia tak melawan.
Kapolda Sultra, Brigjen Pol Agung Sabar Santoso yang ditemui tadi malam usai menghadiri acara buka puasa di Kolaka Timur, memilih tidak berbicara banyak ketika ditanya ihwal penyebab kematian Jalil yang diduga akibat perlakuan tidak wajar oleh oknum polisi. Meski demikian, dia berjanji akan mengusut penyebab kematian warga Kelurahan Tobimeita, Kecamatan Abeli, Kendari. Dengan begitu, akan diketahui penyebab pasti sehingga pria yang rencananya bakal menikah usai lebaran ini kehilangan nyawanya setelah ditangkap. Kata jenderal kelahiran Banjarmasin itu, proses hukum terkait kematian Jalil ini tetap jalan. Saat ini sedang dilakukan penyelidikan terkait penyebab tewasnya Jalil. Bila memang anggota terbukti bersalah dalam menjalankan tugasnya maka akan ditindak sesuai aturan yang berlaku. “Kalau memang anggota tidak profesional dalam menjalankan tugasnya maka harus kita luruskan. Semua ada aturannya,” tutupnya sambil meninggalkan wartawan koran ini.
Sementara, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Kendari, Arifai, SH, MH menilai penangkapan terhadap Abd Jalil itu memang sudah melanggar SOP (standard operating procedure) karena pihak kepolisian tidak memegang syarat formil yakni surat tugas saat melakukan penangkapan. Menurutnya, dalih kepolisian yang menyatakan surat tugas menyusul kemudian merupakan tindakan tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
Jebolan Universitas Negeri Jakarta itu mengatakan penangkapan terhadap tersangka atau pelaku tindak pidana dalam KUHAP memiliki SOP tertentu agar tindakan hukum bisa berjalan sesuai aturan. Jika pelaku hukum dalam hal ini adalah penegak hukum tidak mengindahkan prosedur hukum acara yang telah ada, maka bisa muncul perspektif bermacam-macam dari masyarakat.
“Dalam tahapan melakukan penangkapan terhadap sesorang yang diduga sebagai pelaku pidana, ada aturan-aturan atau unsur yang harus diperhatikan oleh penegak hukum. Sebab semua warga mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum. Contoh kecil unsur yang sangat penting adalah mengenai hak tersangka untuk memperoleh perlakuan manusiawi,” ujar Arifai saat ditemui, kemarin.
Jangka waktu penangkapan, lanjut Arifai hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan maka terdapat syarat materil dan syarat formil yang harus dipenuhi. Yang dimaksud dengan syarat materil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. “Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak dilepaskan,” terang Arifai.
Perintah penangkapan, lanjut Arifai menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup minimal dua alat bukti. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir. Pasal tersebut menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Tentunya, kata Arifai, tersangka memiliki hak-hak dalam proses penangkapan perlu dipenuhii pihak penegakan hukum, penangkapan harus dilakukan oleh petugas dari kepolisian, membawa surat tugas dan jangka waktu penangkapan adalah 1 hari atau 24 jam.
Menurutnya, penangkapan tanpa surat tugas boleh dilakukan oleh pihak kepolisian hanya dikhususkan utuk operasi tangkap tangan (OTT) dan surat penangkapan atau surat tugas dapat menyusul kemudian. Selain itu, hak-hak tersangka, kata dia, dalam proses pemeriksaan tersangka oleh pihak kepolisian harus diperlakukan adil tidak boleh mengalami kekerasan atau tekanan. “Tersangka atau terdakwa berhak didampingi penasehat hukum sejak proses penyidikan. Bahkan ia berhak menolak memberi keterangan bila belum didampingi penasehat hukum,” tambahnya.
Olehnya itu, Arifai menilai terjadinya tindakan kekerasan fisik terhadap Jalil oleh oknum kepolisian yang berujung kematian merupakan tindakan di luar kewajaran. “Untuk mengusut tuntas kasus tersebut perlunya dilakukan autopsi untuk membuktikan penyebab kematian korban. Tentunya hal tersebut perlu dilakukan untuk membuka lebih jelas kasus tersebut,” tandasnya.
Seperti diketahui, Abd Jalil alias Jalil, tiga hari lalu tewas di sel polisi. Ia ditangkap di rumahnya di Tobimeita, Kecamatan Abeli, Senin (6/6) malam, sekira pukul 23.00 Wita. Anehnya, ia baru sampai di Polres Kendari, pagi hari dalam kondisi sudah semaput, dengan tubuh penuh lebam. Yang parah, di betisnya sudah ada lobang setelah diterjang timah panas. Ia pun tewas Selasa (7/6) pagi, dan baru ketahuan keluarganya saat hendak dibesuk.